Rabu, 04 Januari 2012

Predatorika

Jujur saja dari dulu saya ingin sekali membuatkan biografi kecil-kecilan tentang sesuatu yang sudah biasa dan layak untuk dipanggil culun punya, cupu. Dia satu-satunya orang yang paling sangat tersokterkenal sekali yang pernah saya kenal. Entah dimana juga saya kenal sesuatu yang hidup ini.
Yang jelas saya tidak pernah menyesal menemukan dia di sobekan kamus korea terbakar, di sela-sela kaos kaki lubang, di gantungan kunci bajaj dan di retakan-retakan knalpot sepeda motor kredit.
Lahir di rumah bersalin daerah Bandung. Biasa dipanggil Alisa, yang jelas sekali bukan kependekan dari Monalisa apalagi Subianto, Mulyani dan Sulistianto. Bergelar cupu dan tidak gaptek dari Universitas Luar Angkasa.

Saya yang gaptek dan tidak cupu dari mana saja dan sudut pandang siapa saja.
MOS SMA, itulah saat pertama kali saya tahu dia hidup dan nyata. Mungkin karena saya satu kelas dengan dia. Dia adalah anak Bandung yang dilahirkan dari rahim ibu Jogja dan ditopang keuangan oleh ayah Lumajang. Ini aneh. Kedua orang tuanya Jawa tulen dan dia bersama kedua saudara perempuannya Sunda sejati.
Lupakan soal kelahiran dan keluarga misterius itu. Namun sangat disayangkan dia harus beradaptasi dengan bocah satu kelas yang kampungan. Awalnya kita memang minder, karena kita bisa dikatakan lain budaya dan lain peradaban. Dia hidup di zaman modern, dan kita lahir sejak Belanda menjajah Indonesia untuk pertama kalinya beberapa abad silam.
Saya berani taruhan kalau Bandung itu dekat dengan Jakarta, dan Lumajang bagai kota yang masih banyak orang tidak tahu tempatnya dimana. Saya nangis.
"Lumajang? Dimana ya? Apa ya? Kayak pernah denger. Makanan? Atau sejenis obat-obatan illegal?" tanggap mereka.
Saya berharap mereka bukan termasuk orang Jakarta yang sok terkenal, padahal KTP mereka masih KTP kampung di pelosok yang tidak ada gardu listriknya.
“Kenapa harus saya yang hidup di kota seperti ini.” jeritan hati saya menjerit.
Semua orang mungkin tahu Jember, Malang, tapi tidak dengan kota yang disebut Lumajang. Padahal Lumajang juga berbatasan dengan kota-kota terkenal itu. Kurang beruntungnya nasib saya. Mal, Gramedia, semua belum ditentukan ada. Semoga di tahun-tahun mendatang kota kecil saya ini bisa lebih maju peradabannya, bukan lokasinya. Kalau lokasinya makin maju, saya tidak tahu nasib tempat lahir saya jadi seperti apa. Probolinggo akan hilang setengah bagian di bagian selatannya.
Kembali ke Alisa. Dia memang tipe cewek yang diem, kalem, berbakti, penyayang dan kadang hidup kadang tidak. Awalnya memang tidak hidup, karena masih beradaptasi, masih malu-maluin dan ingusan. Lama kelamaan mulai merangkak, lalu berjalan dan akhirnya lari. Sudah seperti fase perkembangan bayi baru lahir.
Setelah dilihat mulai lincah dan asyik, dia mulai cerita panjang lebar tentang jati diri dia yang sebenarnya. Apakah dia seorang alay atau hanya seorang biasa yang mempelajari sastra alay negeri ini. Karena sebelumnya dia termasuk orang misterius yang menutup segala akses kehidupannya di muka umum. ......


Sekelumit penampakkan yang menggambarkan seseorang, Alisa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar