Minggu, 10 November 2013

Firasat

Firasat, apa untungnya memiliki firasat? Jika pertanda itu tak bisa merubah apa pun dalam takdir hidup ini.
Firasat, apa gunanya firasat? Jika karenanya hanya membuat ketidaknyamanan.
Firasat, apa hanya firasat yg bisa ku rasa? Jika dia hanya sekelebat dan tak berarti.
Firasat, apa yg kau berikan? Jika aku sendiri tak tahu bagaimana menerimanya.
Firasat, apa kau ditakdirkan untukku?

Tersadar di suatu Minggu pagi, ku belum juga menyelesaikan tugas akuntansiku yg sudah dua minggu yg lalu dosen tugaskan. Terbangun, mengambil senjata yg dulu paling suka ku gunakan namun sekarang terpaksa digunakan, penggaris. Membuat tabel. Satu saja.

Teringat juga film yg sejak tiga minggu lalu tak kunjung selesai ku tonton. Sebuah film garapan beberapa aktris yg menjelma sebagai sutradara. Beberapa, karena film ini diulik dari beberapa cerita pendek yg dibukukan menjadi satu. Karangan Dewi 'Dee' Lestari, Rectoverso.

Masih tersisa setengah durasi lagi.

Dalam potongannya, terdapat Firasat di sana. Diperankan oleh Asmiranda dan Dwi Sasono. Membuatku berpikir, bermasalalu, menyamakan cerita dg apa yg pernah aku alami. 

Sebenarnya firasat ini ditakdirkan untuk apa? Siapa? Jika itu aku, bagaimana aku bisa menggenggamnya?

Sudah sering aku merasakan firasat. Sayangnya selalu bersifat buruk. Firasat akan ketidakenakan hati, kegundahan, kealpaan, ketidakberdayaan. Aku boleh bahagia karenanya? Aku boleh sedih karenanya? Aku wajib bersyukur karenanya.

Kisah firasatku dimulai dari kakekku (Alm.) atau biasa ku sebut "Bapak" sejak kecil. Beliau rela menghampiriku hanya karena aku sendirian di rumah. Beliau berada di utara kotaku, sejam jaraknya. Menurut cerita nenekku yg memang ku sebut "Nenek" sejak kecil, Bapak menangis sedih saat setelah menerima telpon dari ku, anak usia 7 tahun. Baru ku sadari betapa mereka sangat menyayangiku dan ingin terus menjagaku.

Seminggu sebelum kepergiannya, Bapak, aku sangat berkeras hati untuk mengunjunginya, di kota utara itu. Memberanikan tekad untuk segera beranjak, seharusnya aku bisa, seharusnya aku bisa. Andai bisa memutar waktu. Bodoh sekali.

Ya karena aku gagal mengunjungi mereka. Dalam benakku, aku hanya ingin berfoto dg mereka, bertiga. Hanya bertiga. Aku ingin dikecup pipiku oleh kedua pasangan ini. Sederhana saja. Tapi aku tak mampu. Lima hari, empat hari, tiga hari, aku tetap di kotaku. Entah apa yg dulu rasanya sangat menyita waktuku.

Hingga hari menjelang, pagi buta Ibuku mendapat telepon, lupa dari siapa. Mengabarkan bahwa Bapak habis jatuh, tak sadarkan diri. Bergegas berangkat, hanya Ibuku saja. Karena Ayah kerja, aku dan adik-adikku juga sekolah, Selasa.

 Jam 9 pagi, di depan ruang Infotek B, aku mendapat telepon dari Ibu, memberi tahu bahwa Bapak telah tiada. Serasa jatuh berdiri dibuatnya, gemetar dari kaki hingga tumpah air mata. Terbayang segala kenangan, pengorbanan, cinta. 

Sedih, menyesal, karena aku tak mampu berada di sisinya di saat-saat terakhir. Beda dg sambutannya ketika aku baru saja terlahir di dunia. Saat jenazahnya keluar dari masjid, sejenak aku merasa "Kenapa Bapak tidak mempedulikan aku yg berdiri menghadapnya berlalu?"

Aku menyayangimu, merindukanmu, Mr. Soetamin Saelan.

"Firasat ini, tanda rindukah ataukah tanda bahaya?"

Foto lebaran terakhir, Bapak-Nenek dan Kakak Sepupuku, Rizkia Alifa.