Selasa, 10 Januari 2012

Liburan Exc3m

......
Entahlah, ternyata liburan kali ini cukup berwarna dengan agenda-agenda liburan yang sudah saya dan rekan-rekan buat.
Liburan di minggu pertama adalah liburan bersama teman satu kelas, Excthreem. Kelas ini adalah kelas terkompak yang pernah saya miliki di bangku SMA. Dan tentu saja diketuakelasi langsung oleh saya sendiri. Yak.
Buat libur bareng satu kelas, saya sudah memikirkan acara ini sejak awal semester dua. Ini membuktikan bahwa pandangan otak saya futuristik. Seperti biasa tanpa tangan panjang saya langsung merundingkan hal ini ke teman terdekat saya, Mana. Kebetulan tempat duduk dia paling dekat dengan tempat duduk saya.
Plak!

Setelah saya paparkan hasrat berlibur saya, dia mulai mencari informasi-informasi yang berkaitan dengan lokasi yang akan kita tuju, Pantai Pasir Putih (P3), Situbondo. Kenapa tidak sekalian ke Rajaampat? Karena ongkos kita memang cuma cukup berlibur di P3.
Sebenernya, walau opini-opini ini sudah lama nongol, tapi dalam realisasinya masih kurang. Informasi berhenti dan atau malah tidak berkembang. Ini yang membuat persiapan kita kurang matang. Kita baru merundingkan hal ini lagi sewaktu awal Class Meeting atau hari terakhir ujian akhir semester atau satu hari sebelum kita dapet raport. Sangat disesalkan.
Kalau kita berangkat beberapa hari setelah kita dapet raport, jika nilai kita anjlok, dua kemungkinan akan mencuat. Yang pertama, kita tidak akan dapat restu orang tua. Yang kedua, sepulang dari liburan, orang tua kita akan menyekap kita selama tiga minggu penuh di dalam lembaga bimbingan belajar untuk menghadapi buku dan rumus-rumus MIPA menggila.
Dengan nekat sekeluarganya, nomer telepon wisma yang mau kita kerjain sudah didapat, tinggal bagaimana caranya kita bisa sampai ke sana. Pusing cari minibus. Dan akhirnya Imo, teman satu kelas lainnya, lah yang memberikan kita solusi tentang kendaraan yang akan kita tumpangi nanti.
Awalnya kita sudah booking dua minibus berkapasitas 14-16 kepala tanpa orang di masing-masing busnya. Dan ternyata eh ternyata, yang positif ikut cuma beberapa butir kepala. Ini bikin putus asa dan putus sekolah.
Ada dua pilihan, kita tetap berangkat dengan kepala seadanya atau membatalkan acara tikus seperti ini dengan terpaksa melunasi denda yang dikenakan. Ada roh jahat atau tidak, kita sepakat untuk lanjut saja dengan satu minibus dan kepala-kepala yang sudah terkonfirmasi.

SENIN pagi itu atau dua hari setelah dapat raport, dengan nekat ‘45 kita berkumpul di sekolah buat pergi berlibur dan berharap tidak jadi dimasukkan dalam lembaga bimbel. Dengan ditemani barang-barang bawaan kita yang mencerminkan sekali bahwa kita bosan hidup, kita siap untuk berlibur. Semua dibawa, dari barang yang tidak terlalu penting sampai barang yang sangat tidak penting.
Kalau biasanya sebelum berangkat kita do'a, Dina, bendahara kelas kita malah menagih ongkos liburan. Disini ada dua kepala yang membuat naik pitam buat saya. Yang pertama adalah Hamid, cewek semi metroseksul yang modis (anggap sekarang hari kebalikan), dia tidak mau ikut jika Ruri tidak ikut.
Sedangkan Ruri tidak akan ikut jika tidak ada ongkos. Keluarlah duit saya untuk Ruri. Ini semua saya lakukan agar teman-teman satu kelas tidak kesepian dan bisa mengurangi biaya yang dibutuhkan untuk libur bareng. Tidak ada angin tidak ada kentut, saya mentraktir Ruri dengan tiba-tiba. Bismillah, semoga tidak bikin apes.
Beberapa saat kemudian.
Ternyata saya salah, untuk membayar ongkos liburan dia, saya terpaksa berutang dulu. Derajat kebangsawanan saya tiba-tiba jebol. Kasihan sekali nasib dan muka saya.
Di seperduabelas perjalanan, Mana tiba-tiba ingin mengajak Soni gabung sama kita. Ika pun semangat, secara waktu itu dua sejoli ini sedang berbunga-bunga citra lestari. Pergilah kita ke rumah Soni. Agak nyasar tapi okelah, tidak sampai Ancol (karena memang kita tidak tahu gang terdekat masuk Ancol dimana).
Beberapa menit nyasar, sampailah kita di depan rumah Soni. Rumah yang adat Jawanya tidak terlalu kental, karena memang dia keturunan Madura. Dengan semangat sentosa Imo dan Umi saya coba masuk ke dalam rumah Soni.
“Mereka masuk rumahnya dengan bismillah…” nyanyi lipsink sebentar.
Umi dia pun memanggil dia, "Wawan.Temenmu, nak."
Mereka bingung, ini panggil siapa juga. Kita tidak pernah merasa punya teman bernama Wawan dari SMP sampe SMA kelas 1. Di dalam pikiran kita, yang namanya Wawan adalah orang Sunda, bukan orang Madura apalagi orang gila.
Tiba-tiba Umi dia tanya, "Wawan masuk program IPA atau IPS, Nak?"
Dengan heran dan kerasukan jin, Imo menjawab, "Kurang tahu, Bu."
Makin bingung, jangan-jangan ini salah rumah. Atau rumah Soni memang di deket tornado, Ancol?
Tak lama kemudian nongol lah sebocah orang.
“Loh? Soni?” kita terkaget-kaget melihat kenyataan bahwa Wawan adalah Soni, Soni adalah Wawan dan Soni Wawan ada dalam satu tubuh. Soni hanya membalas kekagetan kita yang berharga ini dengan senyum khasnya yang cukup berharga.
Dengan seikhlasnya, dia meminta ijin ke kedua orang tuanya. Dan orang tuanya pun membawakan dia sekotak makanan ringan dengan tanpa ijin dari Soni. Beruntungnya kita ajak Soni. Ini menghemat pengeluaran konsumsi walau tidak terlalu membuat perut kenyang.
Abi dan Umi dia pun merelakan kepergian Soni. Ini mengharukan, lebih mengharukan dari drama-drama Korea bajakan yang dibajak ulang pake CD daur ulang.
Selama di dalam minibus, Soni tak luput dari godaan setan (baca: kita satu minibus). "Wawaaaaan!!" celoteh teman-teman ke Soni.
"Sampe heran saya di rumah kamu tadi, Son." curhat Imo ke Soni.
"....." dengan tersipu-sipu tidak malu Soni tidak mengomentari pernyataan Imo tadi.
Dari awal kita sudah ajak dia. Tapi Umi dia tidak mengijinkan dia kalau tidak ada guru yang ikut serta. Mungkin di pikiran beliau, kita berlibur sembari mengerjakan soal-soal UN atau kerja kelompok bersama membahas pelajaran semester tiga sambil main pasir atau menggosipkan salah satu Ibu guru muda yang akan menikah dengan seorang Bapak guru muda lainnya di atas air. Fakta-fakta itupun saya tolak matang-matang karena kurang menguntungkan untuk saat ini. Dengan pintar saya memberi solusi ke Soni, mengajak Umi saya ikut. Umi saya kan guru.. SD.

PUAS banget.  Beberapa bulan pun berlalu, sampai akhirnya kita sampai dengan rambut kita yang gondrong, alis beruban dan kulit luntur, bukti terlalu lama ada di dalam minibus. Posisi duduk yang kurang enak membuat pantat berasa kram tiada tandingan. Parah.
Pagi berangkat, siang nyampe P3. 
Karena proses booking wisma yang kurang jelas (kita booking lewat telepon rumah) membuat kita sedikit dikibulin. Agak dibikin berpikir sama sang eyang, pemilik wisma. Dan kita malah berpikir untuk menggagalkan rencana menginap di wisma galau ini.
Plak!
Peraturannya adalah satu wisma hanya untuk kurang dari atau sama dengan sepuluh butir kepala, kita yang berangkat berduapuluhan butir terpaksa dikenakan charge senilai Rp. 50.000,-
Merugikan sekali tapi okelah, kita orang kaya yang rendah hati.
Semua persoalan tak terjawab berakhir dan kita mulai menikmati wisma empat kamar tidur dan dua kamar mandi ini. Sejujurnya saya berharap kita dipantau Big Brother, ada kamera dimana-mana walau cuma VGA dan perselisihan terjadi silih berganti.
Kak Pristi, kakak Mana, juga ikut serta dalam acara patungan liburan ini. Anggap dia adalah tour guide gratis kita yang gagal. Bagaimana tidak? Kata dia, sewaktu SMA wisma galau ini bisa menampung empat puluh kepala bahkan lebih, tanpa kena denda. Tapi sekarang malah dapat denda.
Berpikir buat mendeportasi Kak Pristi dan berharap tidak akan pernah dikibulin lagi.
......
Dari kiri ke kanan:
Jati, Gembok, Soni (Wawan), Titin, Jungkel, Mega, Isyana, Hamid, Indra, Dina, Ruri, Carina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar