Selasa, 19 Juni 2012

Ku akan tua dan mati dalam pelukmu

Minggu ini mungkin minggu paling galau se-Tukum dan sekitarnya. Mungki lebih tepatnya di sekitar hati, otak dan pikiran ku. Dimulai dari pengorbanan yang nampaknya tidak terlalu berharga walau sangat susah untuk mengupayakannnya. Semua hanya didasari dengan keinginan melihat dan lebih dekat.

Malam itu, malam menjelang isya'. Di sana masih ada seorang yang menunggu pesanannya tiba, yaitu aku, sekantong molen pisang asli kota yang mungkin bisa ku bawa dan ku beri.

Seusainya dari kedai di depan panti asuhan itu, ku bergegas menghilangkan bayanganku untuk menuju sekolah. Dua orang kawan akrabku menunggu lama, mungkin sudah setengah jam mereka berdiri di bahu jalan. Ku rasa bersalah. Tapi itu yang harus ku korbankan.

Tepat beberapa menit sebelum isya' tiba kita berangkat. Menyusuri jalan beraspal dan sesekali mendahului truk-truk besar yang akan mengirimkan barang-barang bawaan mereka. Di simpang sebelum rel kereta api, ku salip truk-truk bulog, mungkin sekitar enam truk yang berjalan berdampingan, tak ku sadari ban motorku pecah, motor makin pelan dan makin berat. Aku menyingkir dari arena maut itu dan ku cari orang buka lapak tambal.

Setengah jam mungkin, ku ngobrol sama dua kawanku itu, nampaknya mereka juga cukup lelah dengan perjalanan ini. Jelas saja kita bertiga pakai motor dan motor kita bukan motor yang dirancang untuk perjalanan jauh. Satunya metik dan satunya motor lama yang mungkin umurnya lebih tua dari umur kita.

Ban sudah cukup kuat untuk menopang 50 kg ini. Kita lanjut perjalanan. Kali ini jalan yang kita hadapi bukan sembarang jalan. Lubang di sana sini. Tak tahu rupa bupati nanti setelah lewat ini jalan. Cuma ada dua pilihan, makin tampan atau minta ambulan.

Lubang mungkin jadi kendala utama, tapi masih ada kendala lain salah duanya adalah gelap tanpa penyinaran dan tak tahu arah jalan menuju perkemahan. Ya kali ini memang kita minta diundang di acara anak pramuka.

Satu jam berlalu dari mulai ku datangi dua temanku, kita akhirnya sampai di perkemahan. Sekitar beberapa puluh kilo dari pusat kota. Di sana ramai dengan cahaya telpon genggam yang dinyalakan dan dibuat gelombang. Setelahnya ada malam pentas seni, tempat unjuk gusi mereka, adik-adik kelas sepuluh.

Ku cari dia, ku tanyakan kemana, ku tanyakan kepada temannya. Di sana mas, jawab mereka. Mataku rabun, ini malam dan gelap, komplit rasa ku susah melihat rupanya. Tapi ku beranjak sepercayadirinya. Ku ke sana dengan sedikit terbawa inginku menemuinya, ku hadapkan wajahku ke seseorang. Tiba-tiba ku terkaget, karena orang itu bukan dia. Ku tanyakan kemana dia. Dan dia di belakangnya. Syukurlah dia ada.

Entah apa yang dia rasakan, mungkin senang, mungkin tidak percaya, mungkin juga tidak suka. Tapi ku tak berani bertanya respon dia tentang hadirnya aku secara mengejutkan.

Ku pindahkan tubuh ini, mungkin di timur laut hadapannya atau bisa juga di timurnya. Ku tanya sedikit. Karena rupa-rupanya dia sedang asyik latihan suara bersama rekannya untuk nomer tujuh penampilan kelas dia. Lagu yang mereka bawakan bisa dikatakan searah dengan keadaan hati dan pikiranku. Sudah tiga bulan ku tak sambang dia. Di bawah serbuk bintang ku ada di sana, dengan dia yang selalu ada. Malam dan indah.

Gilirannya tiba, ku hadapkan kamera ini ke mereka, di atas pentas sederhana. Seraya menghayati lagunya. Jelas lagu itu bukan dipersembahkan untukku. Apalagi aku yang tiba-tiba datang. Tapi ku bayangkan saja dalam anganku bahwa lagu itu dinyanyikan oleh dia dan benar-benar untukku. Tak yakin juga dia bisa rasakan.

Satu baris yang mungkin terngiang dalam pikiranku, satu baris yang mungkin kuharapkan esok terwujud, satu baris ini yang menggetarkan jiwaku,
"Ku akan tua dan mati dalam pelukmu.. Untukmu seluruh nafas ini.."
Ku merinding mendengarnya.

Tak lupa juga molen pisang itu ku berikan, mungkin tidak secara langsung karena dia masih di luar area kemah. Ku titip ke temannya. Ku hanya ingin dia tahu kalau aku di sini masih peduli dan tetap menjadikan dia impianku.

9thanniv 200612