Jujur
saja dari dulu saya ingin sekali membuatkan biografi kecil-kecilan tentang
sesuatu yang sudah biasa dan layak untuk dipanggil culun punya, cupu. Dia satu-satunya orang yang paling
sangat tersokterkenal sekali yang pernah saya kenal. Entah dimana juga saya kenal
sesuatu yang hidup ini.
Yang
jelas saya tidak pernah menyesal menemukan dia di sobekan kamus korea terbakar,
di sela-sela kaos kaki lubang, di gantungan kunci bajaj dan di retakan-retakan
knalpot sepeda motor kredit.
Lahir
di rumah bersalin daerah Bandung. Biasa dipanggil Alisa, yang jelas sekali
bukan kependekan dari Monalisa apalagi Subianto, Mulyani dan Sulistianto.
Bergelar cupu dan tidak gaptek dari
Universitas Luar Angkasa.
Saya
yang gaptek dan tidak cupu dari mana saja dan sudut pandang siapa saja.
MOS
SMA, itulah saat pertama kali saya tahu dia hidup dan nyata. Mungkin karena saya
satu kelas dengan dia. Dia adalah anak Bandung yang dilahirkan dari rahim ibu
Jogja dan ditopang keuangan oleh ayah Lumajang. Ini aneh. Kedua orang tuanya
Jawa tulen dan dia bersama kedua saudara perempuannya Sunda sejati.
Lupakan
soal kelahiran dan keluarga misterius itu. Namun sangat disayangkan dia harus
beradaptasi dengan bocah satu kelas yang kampungan. Awalnya kita memang minder,
karena kita bisa dikatakan lain budaya dan lain peradaban. Dia hidup di zaman
modern, dan kita lahir sejak Belanda menjajah Indonesia untuk pertama kalinya
beberapa abad silam.
Saya
berani taruhan kalau Bandung itu dekat dengan Jakarta, dan Lumajang bagai kota
yang masih banyak orang tidak tahu tempatnya dimana. Saya nangis.
"Lumajang?
Dimana ya? Apa ya? Kayak pernah denger. Makanan? Atau sejenis obat-obatan
illegal?" tanggap mereka.
Saya berharap
mereka bukan termasuk orang Jakarta yang sok terkenal, padahal KTP mereka masih
KTP kampung di pelosok yang tidak ada gardu listriknya.
“Kenapa harus saya
yang hidup di kota seperti ini.” jeritan hati saya menjerit.
Semua orang mungkin
tahu Jember, Malang, tapi tidak dengan kota yang disebut Lumajang. Padahal Lumajang
juga berbatasan dengan kota-kota terkenal itu. Kurang beruntungnya nasib saya.
Mal, Gramedia, semua belum ditentukan ada. Semoga di tahun-tahun mendatang kota
kecil saya ini bisa lebih maju peradabannya, bukan lokasinya. Kalau lokasinya
makin maju, saya tidak tahu nasib tempat lahir saya jadi seperti apa.
Probolinggo akan hilang setengah bagian di bagian selatannya.
Kembali ke Alisa.
Dia memang tipe cewek yang diem, kalem, berbakti, penyayang dan kadang hidup
kadang tidak. Awalnya memang tidak hidup, karena masih beradaptasi, masih
malu-maluin dan ingusan. Lama kelamaan mulai merangkak, lalu berjalan dan
akhirnya lari. Sudah seperti fase perkembangan bayi baru lahir.
Setelah dilihat
mulai lincah dan asyik, dia mulai cerita panjang lebar tentang jati diri dia
yang sebenarnya. Apakah dia seorang alay atau hanya seorang biasa yang mempelajari
sastra alay negeri ini. Karena sebelumnya dia termasuk orang misterius yang menutup
segala akses kehidupannya di muka umum. ......
Sekelumit penampakkan yang menggambarkan seseorang, Alisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar