......
Entahlah, ternyata liburan
kali ini cukup berwarna dengan agenda-agenda liburan yang sudah saya dan
rekan-rekan buat.
Liburan di minggu pertama
adalah liburan bersama teman satu kelas, Excthreem. Kelas ini adalah kelas
terkompak yang pernah saya miliki di bangku SMA. Dan tentu saja diketuakelasi langsung oleh saya sendiri. Yak.
Buat libur bareng satu kelas,
saya sudah memikirkan acara ini sejak awal semester dua. Ini membuktikan bahwa
pandangan otak saya futuristik. Seperti biasa tanpa tangan panjang saya langsung
merundingkan hal ini ke teman terdekat saya, Mana. Kebetulan tempat duduk dia
paling dekat dengan tempat duduk saya.
Plak!
Setelah saya paparkan hasrat berlibur saya, dia mulai mencari informasi-informasi yang berkaitan dengan lokasi yang akan kita tuju, Pantai Pasir Putih (P3), Situbondo. Kenapa tidak sekalian ke Rajaampat? Karena ongkos kita memang cuma cukup berlibur di P3.
Sebenernya, walau
opini-opini ini sudah lama nongol, tapi dalam realisasinya masih kurang.
Informasi berhenti dan atau malah tidak berkembang. Ini yang membuat persiapan
kita kurang matang. Kita baru merundingkan hal ini lagi sewaktu awal Class Meeting atau hari terakhir ujian
akhir semester atau satu hari sebelum kita dapet raport. Sangat disesalkan.
Kalau kita berangkat
beberapa hari setelah kita dapet raport, jika nilai kita anjlok, dua kemungkinan
akan mencuat. Yang pertama, kita tidak akan dapat restu orang tua. Yang kedua,
sepulang dari liburan, orang tua kita akan menyekap kita selama tiga minggu
penuh di dalam lembaga bimbingan belajar untuk menghadapi buku dan rumus-rumus MIPA
menggila.
Dengan nekat
sekeluarganya, nomer telepon wisma yang mau kita kerjain sudah didapat, tinggal bagaimana caranya kita bisa sampai ke sana. Pusing cari minibus. Dan akhirnya Imo,
teman satu kelas lainnya, lah yang memberikan kita solusi tentang kendaraan
yang akan kita tumpangi nanti.
Awalnya kita sudah booking dua minibus berkapasitas 14-16
kepala tanpa orang di masing-masing busnya. Dan ternyata eh ternyata, yang
positif ikut cuma beberapa butir kepala. Ini bikin putus asa dan putus sekolah.
Ada dua pilihan, kita
tetap berangkat dengan kepala seadanya atau membatalkan acara tikus seperti ini
dengan terpaksa melunasi denda yang dikenakan. Ada roh jahat atau tidak, kita
sepakat untuk lanjut saja dengan satu minibus dan kepala-kepala yang sudah terkonfirmasi.
SENIN pagi itu atau dua
hari setelah dapat raport, dengan nekat ‘45 kita berkumpul di sekolah buat pergi
berlibur dan berharap tidak jadi dimasukkan dalam lembaga bimbel. Dengan
ditemani barang-barang bawaan kita yang mencerminkan sekali bahwa kita bosan
hidup, kita siap untuk berlibur. Semua dibawa, dari barang yang tidak terlalu
penting sampai barang yang sangat tidak penting.
Kalau biasanya sebelum
berangkat kita do'a, Dina, bendahara kelas kita malah menagih ongkos liburan. Disini
ada dua kepala yang membuat naik pitam buat saya. Yang pertama adalah Hamid, cewek
semi metroseksul yang modis (anggap sekarang hari kebalikan), dia tidak mau ikut
jika Ruri tidak ikut.
Sedangkan Ruri tidak akan ikut jika tidak ada ongkos. Keluarlah duit saya untuk Ruri. Ini semua saya lakukan agar teman-teman satu kelas tidak
kesepian dan bisa mengurangi biaya yang dibutuhkan untuk libur bareng. Tidak ada
angin tidak ada kentut, saya mentraktir Ruri dengan tiba-tiba. Bismillah,
semoga tidak bikin apes.
Beberapa saat kemudian.
Ternyata saya salah, untuk membayar ongkos liburan dia, saya terpaksa berutang dulu. Derajat kebangsawanan saya
tiba-tiba jebol. Kasihan sekali nasib dan muka saya.
Di seperduabelas
perjalanan, Mana tiba-tiba ingin mengajak Soni gabung sama kita. Ika pun
semangat, secara waktu itu dua sejoli ini sedang berbunga-bunga citra lestari. Pergilah
kita ke rumah Soni. Agak nyasar tapi okelah, tidak sampai Ancol (karena
memang kita tidak tahu gang terdekat masuk Ancol dimana).
Beberapa menit nyasar,
sampailah kita di depan rumah Soni. Rumah yang adat Jawanya tidak terlalu
kental, karena memang dia keturunan Madura. Dengan semangat sentosa Imo dan Umi
saya coba masuk ke dalam rumah Soni.
“Mereka masuk rumahnya
dengan bismillah…” nyanyi lipsink sebentar.
Umi dia pun memanggil dia, "Wawan.Temenmu, nak."
Mereka bingung, ini
panggil siapa juga. Kita tidak pernah merasa punya teman bernama Wawan dari SMP
sampe SMA kelas 1. Di dalam pikiran kita, yang namanya Wawan adalah orang
Sunda, bukan orang Madura apalagi orang gila.
Tiba-tiba Umi dia tanya,
"Wawan masuk program IPA atau IPS, Nak?"
Dengan heran dan kerasukan
jin, Imo menjawab, "Kurang tahu, Bu."
Makin bingung, jangan-jangan
ini salah rumah. Atau rumah Soni memang di deket tornado, Ancol?
Tak lama kemudian nongol
lah sebocah orang.
“Loh? Soni?” kita
terkaget-kaget melihat kenyataan bahwa Wawan adalah Soni, Soni adalah Wawan dan Soni Wawan ada dalam satu tubuh.
Soni hanya membalas kekagetan kita yang berharga ini dengan senyum khasnya yang
cukup berharga.
Dengan seikhlasnya, dia meminta ijin ke kedua orang tuanya. Dan orang tuanya pun membawakan dia sekotak
makanan ringan dengan tanpa ijin dari Soni. Beruntungnya kita ajak Soni. Ini menghemat pengeluaran konsumsi
walau tidak terlalu membuat perut kenyang.
Abi dan Umi dia pun
merelakan kepergian Soni. Ini mengharukan, lebih mengharukan dari drama-drama
Korea bajakan yang dibajak ulang pake CD daur ulang.
Selama di dalam minibus,
Soni tak luput dari godaan setan (baca: kita satu minibus). "Wawaaaaan!!"
celoteh teman-teman ke Soni.
"Sampe heran saya di
rumah kamu tadi, Son." curhat Imo ke Soni.
"....." dengan
tersipu-sipu tidak malu Soni tidak mengomentari pernyataan Imo tadi.
Dari awal kita sudah ajak
dia. Tapi Umi dia tidak mengijinkan dia kalau tidak ada guru yang ikut serta. Mungkin di pikiran
beliau, kita berlibur sembari mengerjakan soal-soal UN atau kerja kelompok bersama
membahas pelajaran semester tiga sambil main pasir atau menggosipkan salah satu Ibu guru muda
yang akan menikah dengan seorang Bapak guru muda lainnya di atas air. Fakta-fakta itupun
saya tolak matang-matang karena kurang menguntungkan untuk saat ini. Dengan
pintar saya memberi solusi ke Soni, mengajak Umi saya ikut. Umi saya kan guru..
SD.
PUAS banget. Beberapa bulan pun berlalu, sampai akhirnya
kita sampai dengan rambut kita yang gondrong, alis beruban dan kulit luntur, bukti terlalu lama ada di dalam minibus. Posisi duduk yang kurang enak
membuat pantat berasa kram tiada tandingan. Parah.
Pagi berangkat, siang
nyampe P3.
Karena proses booking wisma yang kurang jelas (kita booking lewat telepon rumah) membuat kita sedikit dikibulin. Agak dibikin berpikir sama sang eyang, pemilik wisma. Dan kita malah berpikir untuk menggagalkan rencana menginap di wisma galau ini.
Karena proses booking wisma yang kurang jelas (kita booking lewat telepon rumah) membuat kita sedikit dikibulin. Agak dibikin berpikir sama sang eyang, pemilik wisma. Dan kita malah berpikir untuk menggagalkan rencana menginap di wisma galau ini.
Plak!
Peraturannya adalah satu
wisma hanya untuk kurang dari atau sama dengan sepuluh butir kepala, kita yang
berangkat berduapuluhan butir terpaksa dikenakan charge senilai Rp. 50.000,-
Merugikan sekali tapi okelah, kita orang kaya yang rendah hati.
Semua persoalan tak
terjawab berakhir dan kita mulai menikmati wisma empat kamar tidur dan dua
kamar mandi ini. Sejujurnya saya berharap kita dipantau Big Brother, ada kamera
dimana-mana walau cuma VGA dan perselisihan terjadi silih berganti.
Kak Pristi, kakak Mana,
juga ikut serta dalam acara patungan liburan ini. Anggap dia adalah tour guide gratis kita yang gagal. Bagaimana
tidak? Kata dia, sewaktu SMA wisma galau ini bisa menampung empat puluh kepala
bahkan lebih, tanpa kena denda. Tapi sekarang malah dapat denda.
Berpikir buat
mendeportasi Kak Pristi dan berharap tidak akan pernah dikibulin lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar