Siang hari mungkin adalah waktu senggang yang sangat tidak diminati untuk dinikmati. Apalagi terik matahari yang saat itu sangat tidak bersahabat dengan kulit. Suhu udara mencapai 30 derajat celcius. Bisa di bawahnya atau bahkan jauh di atasnya. Belum lagi pantulan dari balutan batu yang tersusun menganyam di seluruh kompleks sekolah. Jika saya adalah iga sapi bumbu pecel siap panggang, mungkin didiamkan di atasnya sambil sesekali dibalik akan matang menggosong sekitar 2 jam setelah pemesanan.
Saya pikir kembali, jika saya adalah iga sapi, maka bisa dipastikan pelanggan pertama yang akan memakan saya adalah nenek-nenek krimbat bergigi aspal. Ya benar, daging saya jarang ditemukan.
Kebetulan sekali hari itu cuaca sedang baik. Matahari tidak memamerkan aura 'hot'nya secara berlebihan. Sekejap awan tampak seperti tenda raksasa yang menghampar lebar menampar langit. Angin dingin berhembus di sela semak-semak. Hujan rintik-rintik turut serta menyumbang sejuknya siang itu.
Saya mengajak dia untuk sekedar mengisi perut di kantin tetangga. Hanya mengajaknya makan siang. Tidak lebih dari itu. Tidak mentraktir atau bahkan memintanya untuk membelikan saya satu porsi penuh makan siang.
Makan siang kali ini sudah didahului dengan penuhnya volume perut saya. Jadi saya hanya menemaninya makan siang. Tidak ikut makan, rencananya seperti itu.
Bercengkrama seperti biasa walau menurut saya tidak biasa. Membicarakan hal remeh yang sangat saya nikmati. Menyombongkan diri sesaat lalu memotivasinya untuk mampu melakukan lebih. Ya, hidup memang harus didahului dengan mendorong seseorang lain.
Bergurau dengan sewajarnya. Menanyakan hasil ulangannya yang saya pikir lebih baik dari saya dulu. Menjawab pertanyaannya dengan senyum secukupnya dan hati sepenuhnya. Sangat bahagia.
Obrolan kami tiba-tiba terhenti saat seseorang di seberang menyapa dia. Saya pun tidak ingin kalah. Walau saya kurang paham siapa orang yang tega mengacaukan acara kami ini, saya hanya menyapa temannya dan menggelontorkan senyuman kepadanya.
"Yuk, lanjut."
Kami pun melanjutkan langkah kaki kami. Karena nampaknya dia sudah terlalu lapar untuk ukuran beberapa meter berjalan. Deretan tulang yang saya miliki seperti tidak sanggup mengganjal dorongan penyakit lambungnya yang kapan saja bisa kambuh saat terlambat makan.
Setibanya di meja dan dua kursi yang saling berhadapan. Dia permisi untuk memesan sepiring Mie Goreng Instan. Saya mengiyakan. Sesekali saya membuka kotak masuk telepon genggam saya. Mengecek apakah ada SMS penting yang masuk. Hari itu ada di sela-sela kesibukan saya menyiapkan HUT sekolah. Tentu saya akan menyempatkan acara ini. Acara jarang ini.
Sejurus dengan itu saya memesankan beberapa gelas air mineral. Minuman kesukaan saya yang sepertinya sering berganti rasa disaat lelah. Minuman kesehatan tersehat dan tidak menyusahkan organ pencernaan.
Sambil menunggu hidangan super enak langganan kami itu hadir di meja kayu berwarna hijau itu. Kami termenung sendiri. Seperti ada penampakan buruk di raut wajah masing-masing dari kami. Seperti ada kata 'Jangan.' atau apalah. Saya kurang tahu aura kami saat itu. Saya hanya mengira-ngira mengapa kami tiba-tiba terdiam.
Tak lama berselang. Piring Mie Goreng Instan melantai di atas meja kami. Sontak memecah keheningan yang kami awetkan. Dia mengaduk-aduk adonan itu agar bumbu tercampur dengan rata. Dan saya hanya tersenyum manis menggelikan melihat pemandangan ini. Dia lucu saat kelaparan. Dan saya malah akan terlihat sangat menyeramkan saar sudah beberapa jam tidak makan.
Terkadang dia yang memulai pembicaraan dan sering kali saya yang mengajaknya untuk bicara. Makan siang kali ini mungkin masih bisa dihitung jari. Dan hari itu adalah hari kesekiannya kami makan siang bersama. Biasanya kami selalu ditemani oleh teman dia. Tapi hari itu sepertinya teman dia mendahuluinya pulang.
"Bayangin kita lagi makan Spaghetti di pojokan kota Venesia. Atau kalau enggak, kita makan roti mariam di Dubai. Atau yang paling deket, kita makan mie aceh di Aceh." gurau saya.
Mimpi-mimpi itu yang sering kali saya unggah ke permukaan. Gurauan termustajabah yang menghibur kami.
"Nanti kita ke sana ya." jawab dia.
Dengan senyum penuh harapan dan berdo'a di dalam hati, mengiyakan. Seraya memainkan imajinasi, kira-kira kapan dan sedang apa kami di sana. Di belahan dunia yang ingin kami jejaki bersama itu.
Mengobrol ke sana-sini, tidak terasa tangan ini membantunya menghabiskan santap siangnya. Dan tidak terasa juga kami kenyang serentak. Bersama spaghetti Venesia, roti mariam Dubai dan Mie Aceh. Ya, suatu saat nanti kami akan ke sana. Mengenyangkan perut kami dengan mimpi yang menjadi kenyataan. Memuaskan makan siang kami di tengah-tengah kerumunan penduduk dunia. Serta mengenang masa SMA dimana kami merebus bersama angan-angan itu.
"Saya meminta maaf atas apa yang tidak pernah saya ketahui.
Saya meminta maaf karena tidak berhasil merasakan apa salah saya sesungguhnya.
Dan saya meminta maaf karena terlalu sering meminta maaf. Maaf."
Saya meminta maaf karena tidak berhasil merasakan apa salah saya sesungguhnya.
Dan saya meminta maaf karena terlalu sering meminta maaf. Maaf."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar